Mendaki Gunung Everest menjadi impian bagi banyak pendaki. Itulah mengapa penutupan jalur pendakian gunung dengan ketinggian 29.035 kaki itu pada Maret lalu membuat kecewa banyak orang. Namun pada Agustus lalu, Nepal mulai mengeluarkan izin untuk Gunung Everest dan pegunungan Himalaya lainnya untuk pendakian musim gugur, yang berlangsung dari September sampai November.
Begitu pula dengan penerbangan internasional, hotel, dan restoran yang telah dibuka kembali pada bulan tersebut. Menyusul keberhasilan kelompok pertama pendaki gunung terpilih yang memasuki Nepal di tengah pandemi, pemerintah Nepal mengumumkan akan membuka Gunung Everest untuk semua pendaki gunung yang memenuhi syarat. Kendati demikian, memasuki Nepal kini tak semudah dulu.
Melansir dari Lonely Planet , wisatawan harus meminta persetujuan sebelumnya, memberikan rincian rencana perjalanan mereka, dan membuktikan bahwa mereka telah diberikan izin untuk melakukan perjalanan ke Nepal. Pemerintah Nepal tidak ingin mengambil risiko memperburuk situasi dengan membuka perbatasan mereka terlalu lebar. "Kami tidak membuka negara untuk semua pengunjung dan hanya pendaki gunung dan trekker yang telah memiliki izin sebelumnya yang diizinkan untuk datang ke Nepal," ujar Direktur Jenderal Departemen Pariwisata Nepal, Rudra Singh Tamang, dikutip dari AP .
"Kami membuka sektor pengunjung yang kami tahu dapat kami tangani dan kelola," lanjutnya. Wisawatan yang ingin mendaki Gunung Everest harus memenuhi sejumlah syarat yang telah ditentukan Pemeritah Nepal. Salah satunya menunjukkan hasil tes Covid 19 negatif.
Selain itu, calon pendaki wajib memiliki asuransi kesehatan yang mencakup pengobatan Covid 19, yang setidaknya mencakup 5.000 dollar AS atau sekitar Rp 71,3 juta. Setibanya di Nepal, wisatawan wajib melakukan karantina selama satu minggu di hotel Kathmandu. Pendaki juga diwajibkan melakukan tes Covid 19 sebelum menuju pegunungan.
Delapan dari 14 puncak tertinggi dunia berada di Nepal, termasuk Everest, Kanchenjunga, Lhotse, Makalu, Cho Oyu, Dhaulagiri, Manaslu, dan Annapurna. Tak heran jika perjalanan menuju basecamp atau mendaki gunung merupakan sumber pendapatan bagi Nepal. Termasuk bagi sherpa, sebutan bagi pemandu dan porter Gunung Everest.
Kebijakan lockdown yang diterapkan Nepal membuat Gunung Everest turut ditutup pada Maret lalu. Kebijakan ini membuat perokonomian masyarakat Nepal terancam. Salah satu yang paling terdampak adalah sherpa.
Para sherpa mengatakan mereka menghadapi masalah yang rumit, yakni menghidupi keluarga mereka. “Kami pergi ke gunung bukan karena kami mau, namun karena itu adalah pilihan satu satunya bagi kami untuk bekerja,” kata seorang sherpa kepada AFP dikutip dari News.com.au. Musim pendakian Gunung Everest yang dimulai pada awal April hingga akhir Mei, merupakan waktu sherpa mencari nafkah.
Dari hasil kerja dua bulan tersebut, mereka mampu memberi makan keluarga sepanjang tahun. Sherpa biasanya mendapatkan penghasilan antara 5.000 10.000 dollar AS setara Rp 79 160 juta sepanjang musim pendakian Gunung Everest. “Saya rasa semua orang menderita dari hal yang sama,” kata sherpa itu.
Dia juga menambahkan bahwa biasanya saat ini dia berada di Everest base camp dan bersiap bersama ratusan pendaki gunung untuk menunggu cuaca yang tepat menuju ke Puncak Everest. Virus corona telah membuat Everest base camp menjadi terbengkalai. Melansir dari Kompas.com , Namche Bazaar sebagai kota terakhir sebelum mencapai markas tersebut juga terlihat kosong.
Para pemandu, kuli angkut, juru masak, dan staf pendukung lainnya harus kembali ke rumah dengan tangan kosong. Sementara itu, Damian Benegas yang pernah memandu beberapa tim di Everest selama hampir dua dekade mengatakan bahwa terdapat beberapa pekerja yang paling terpukul. Adapun pekerja yang dimaksud Benegas adalah para kuli angkut dan juru masak yang membuat ekspedisi tetap berjalan.
“Mereka tidak memiliki penghasilan cadangan atau kontrak apapun yang harus dijaga oleh para penyelenggara ekspedisi,” kata Benegas. Akibat penangguhan pendakian Gunung Everest tersebut setidaknya ada potensi kehilangan 4 juta dollar AS atau setara dengan Rp 63,8 miliar. Uang tersebut berasal dari pendapatan izin pendakian.
Izin untuk mendaki Gunung Everest dikenakan 11.000 dolar AS atau setara dengan Rp 175 juta per satu orang pendaki. Nilai tersebut belum termasuk perputaran ekonomi karena para pendaki.